Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha. berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah, aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu, aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku, tak satupun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak”.
Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”.
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”.
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus Dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami”.
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?”
Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni’”.