Jumat, 18 Juni 2010

Poligami Bukan Berasal dari Islam







Poligami dari sisi sejarah sebenarnya sebagai pintu pada situasi darurat sosial tertentu. Ia adalah pintu pengaman saja. Bahkan penulis perlu tegaskan, sesungguhnya poligami itu bukan bersumber dari ajaran Islam. Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw berlangsung sejak awal abad ke-7 (beliau diangkat menjadi Rasul ketika berusia 40 tahun, sekitar tahun 609 M), sementara praktek poligami di dunia sudah terjadi sebelum abad ketujuh.

Sebelum datangnya Islam di belahan dunia manapun sudah lumrah seorang laki-laki memiliki istri sepuluh, duapuluh, tigapuluh bahkan seratus orang istri atau bahkan lebih banyak lagi. Di kalangan masyarakat Arab, seorang laki-laki boleh memiliki istri sebanyak yang diinginkan. Saat itu menjadi hal wajar di berbagai peradaban dengan istilah selir, harem dan lain-lain.

Pada abad itu, kaum arab quraisy memiliki mobilitas yang tinggi sekali. Mereka tinggal di lembah Bakka (Mekkah) yang dikelilingi gurun pasir Hizaz. Mereka hidup hanya dengan menggembalakan ternak di gurun pasir yang demikian gersang. Kalau mereka ingin lebih makmur mereka harus berdagang. Sementara pusat dagang saat itu hanya ada dua, Syam di Utara (pedagang Romawi dan Persia) dan di selatan ada Yaman (pedagang Madagaskar dan Timur Jauh). Itulah dua daerah perdagangan yang paling dekat.

Mereka mengalami dua musim. Jika Mekkah dingin mereka pergi ke arah Yaman, sebaliknya jika cuaca panas mereka ke Syam seperti disebutkan dalam Al Qur’an surat Al-Quraisy. Saat itu marak sekali terjadi perampokan di rute-rute perdagangan yang mereka lewati. Selalu saja ada peperangan saat melakukan perjalanan dagang. Oleh karena itu dituntut kekuatan fisik, kemampuan berkelahi dengan atau tanpa senjata, kemampuan berkuda, kemampuan mempertahankan hidup dalam situasi sulit dan lain-lain, yang rata-rata dimiliki kaum laki-laki. Maka seringkali kaum laki-laki arab quraisy berdagang, terlibat perang dan terbunuh.

Lalu terjadilah beberapa kondisi, pertama banyaknya janda dan anak-anak terlantar. Timbul pertanyaan, siapa yang mengurusi mereka? Kedua karena mereka berdagang dalam kabilah-kabilah dan banyak laki-laki yang mati, maka armada dagang dan perang makin kecil dan lemah. Timbullah kebutuhan untuk memperbanyak anak laki-laki dalam rangka memperkuat dan menjaga continuity armada kabilah. Disitulah laki-laki yang tersisa harus banyak kawin dengan banyak perempuan supaya melahirkan anak laki-laki yang banyak.

Nah, poligami saat itu memang diperlukan. Poligami adalah tuntutan dari sebuah keadaan zaman yang didominasi oleh patriarkis, dominasi laki-laki berdasarkan fisik. Tentu saja dalam poligami seperti itu akan muncul banyak distorsi, perlakuan yang tidak semestinya. Karena jumlah istri yang begitu banyak maka tidak semuanya mendapatkan perlakuan yang baik. Lantas anak-anak pun menjadi serba terlantar. Orang cenderung mengabaikan anak-anak yatim karena sibuk mengurus anak-anak dan keluarganya sendiri.

Jadi, praktek poligami tadinya berjalan wajar, terjadi secara alami, tetapi setelah munculnya banyak distorsi dan penyimpangan, Islam datang melakukan koreksi. Maka ketika Al-Quran bicara poligami, sebenarnya bukan mendorong untuk menikah dari satu menjadi dua, tiga dan empat. Tetapi dari poligami yang beralasan diperintahkan memaksimumkan menjadi empat. Dan empat pun disyaratkan untuk berlaku adil, kalau tidak bisa, ya cukup satu saja. Jadi kalau kita baca ayat-ayatnya justru harus menggunakan logika yang terbalik, yaitu dari delapan menjadi satu, bukan satu menjadi delapan.

Sebuah contoh nyata terjadi pada saudara-saudara muslim kita di bekas Negara Yugoslavia. Tahun 1992, Muslim Bosnia dihabisi oleh orang-orang Serbia dan Kroasia. Perempuan dan anak-anak diungsikan, kaum laki-laki berperang. Setelah perang usai ternyata menyisakan banyak istri yang menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim, karena suami dan ayah mereka berguguran di medan perang. Dalam situasi itu Majlis Ulama Bosnia memerintahkan lelaki muslim untuk berpoligami karena minimnya jumlah lelaki.

Al Qur’an Surat An Nisa ayat 3 menyebutkan:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

Sepintas ayat tersebut menganjurkan para lelaki untuk beristri empat dan memang, umumnya para ulama berpenafsiran seperti itu, namun sebenarnya itu tidak tepat. Sebab ayat tersebut berawal dari huruf waw athaf, ‘wa in khiftum… jadi kita harus melihat ayat sebelumnya, ayat dua dan satu.

Lantas dimana ayat poligaminya ? Kita harus menjawab secara holistik, ayat satu, dua dan tiga.

  1. Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
  2. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
  3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ayat pertama bicara Ittaquu, taqwa. Ayat kedua, peduli pada anak yatim. Ayat tiga, memang ada kata Fankikhuu tetapi bersyarat, in khiftum, itu syaratnya, keadilan.

Kalau dicermati, fokus pada ayat ketiga ini adalah perlakuan adil dan tidak menelantarkan anak yatim, sedangkan poligami disinggung hanya sebagi pilihan solusi bukan topik utama.

Topik utamanya adalah mengenai taqwa, perlindungan anak yatim dan keadilan. Agar bisa berbuat adil pada anak yatim maka kawinilah ibunya. Kenapa? Sebab seringkali orang sulit berbuat adil pada anak yatim karena merasa anak yatim itu sebagai anak orang lain. Lalu terbersit pemikiran dalam benak, “Jika nanti kita tua apakah dia akan menolong kita?”. Berbeda jika kita menolong anak sendiri, lain hari masih ada harapan mereka berbalik menolong kita. Guna menghapus keraguan tersebut, maka kawinilah ibunya kemudian anak itu menjadi anakmu juga.

Penulis menyimpulkan, dari 6236 ayat al-Quran tidak ada yang mengangkat poligami menjadi topik utama. Pada Surat Annisa tersebut topiknya adalah keadilan sedangkan menjadi salah satu tema poligamisolusi pilihan alternative dengan pertimbangan yang tepat. Jadi pembolehan poligami lebih berdasarkan pada situasi dan kondisinya demi tercapai maksud tidak terlantarnya anak-anak yatim.

Praktek Poligami Rasulullah saw
Fakta sejarah mengungkapkan Rasulullah saw menikah usia 25 tahun. Lalu, pada usia 51 tahun istri beliau, Siti Khadijah wafat. Jadi selama 26 tahun beliau monogami (bersitri satu). Dua tahun berikutnya beliau menduda hingga usia 53 tahun. Kemudian terjadilah peperangan dan banyak para suami yang syahid. Baru kemudian beliau menikahi seorang janda bernama Saudah -yang menurut sejarah, usianya lebih tua dari Rasulullah-. Pertimbangan Rasulullah, Saudah memiliki anak banyak yang membutuhkan pelindung.

Usia Siti Khadijah ketika dinikahi Rasulullah saw sekitar 40 tahun, itu artinya di separuh pernikahan sangat mungkin Nabi menikahi wanita monopouse. Karena itu Khadijah tidak punya anak lagi termasuk anak laki-laki. Jika melihat konteks saat itu (atau bahkan mungkin hingga saat ini di Arab Saudi) anak laki-laki memang memiliki kedudukan yang istimewa sebagai penerus. Dan, Nabi saat itu hidup pada zaman arab patriarkis, dimana garis keturunan ditentukan anak laki-laki. Sedangkan nabi belum memiliki anak laki-laki, jadi sangat mungkin kondisi tidak memiliki anak laki-laki dari wanita yang diperistrinya itu dijadikan alasan untuk menikah lagi. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Beliau. Beliau mempertahankan hidup monogami selama 26 tahun.

Lebih dari itu, bahwa pada perkawinan ketiga, dengan Aisyah binti Abu Bakar. Konteks saat itu pinangan Rasulullah atas Aisyah telah menyelamatkan Abu Bakar dari dilema antara menikahkan putrinya dengan seorang kafir atau mengingkari janjinya kepada Muth'im bin Ady orang tua dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk menikahi putrinya.

Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri Muth'im bin `Ady tidak menghendaki anaknya menikahi Aisyah karena tidak menginginkan anaknya masuk agama Islam, maka pinangan Rasulullah pun diterima.

Saat itu ada sebuah dilema di dalam diri Abu Bakar ra, tidak mungkin Abu Bakar menunangkan putrinya dengan Djubeir bin Muth'im yang berada di front terdepan dari para penentang Rasul sementara beliau menjadi tangan kanan Rasulullah. Abu Bakar sempat ragu, jika beliau menolak lamaran tersebut dikhawatirkan hubungan silaturahim rusak dan jika diterima maka anaknya akan menjadi istri dari seorang yang berkarakter keras dan penentang Rasulullah saw, dilematis, solusinya lalu dinikahkan dengan Rasul.

Selanjutnya dalam kurun tiga tahun Rasulullah saw menjalani poligami dengan beberapa istri yang suaminya gugur dimedan perang. Setelah ekonomi Islam semakin makmur akibat kesuksesan dalam perang dan hasil rampasan perang, Nabi tidak melanjutkan praktek poligami. Dengan kata lain, kemakmuran dan keturunan bukan alasan yang mengharuskan berpoligami.





Poligami Karena Alasan Menghindari Zina


Larangan berzina berlaku umum, baik untuk yang masih sendiri, menikah hanya dengan satu istri, atau yang berpoligami. Jangankan untuk melakukannya, mendekatinya pun dilarang. Jika alasannya menghindari zina, maka itu hanyalah sebuah alasan yang cengeng dan dicari-cari saja. Kalau sudah berkarakter pezina tanpa melakukan poligami pun ia akan mudah berzina.

Dalam sebuah hadits, Nabi ditanya, “Mengapa engkau tidak menikahi gadis Madinah yang terkenal cantik?”, (pertanyaan ini muncul ketika Islam telah makmur), jawab Nabi, “Justru karena mereka cantik, mereka takut dimadu dan aku tidak suka menyakiti perempuan untuk itu”.

Karena Nabi tidak mau ditawari, lalu ada yang mencoba menawari nikah kepada Ali bin Abi Thalib ra, -menantu nabi yang sedang beristrikan Fathimah az-Zahra- melalui Nabi. Lalu beliau saw bersabda, “Ketahuilah bahwa aku tidak setuju, aku tidak akan memberikan kecuali Ali menceraikan dulu putriku darah dagingku dan barang siapa menyakitinya sama artinya dengan menyakitiku”.

Ketahuilah, yang namanya dimadu itu sakit bagi perempuan juga menyakiti orang tua perempuan.



Istri tua yang mencarikan calon istri baru


Jika ada seorang istri yang mencarikan istri baru untuk suaminya, kita harus lihat kasusnya seperti apa. Misalnya, suami memang hiperseks, satu hari sampai lima kali minta. Secara fisik, alat kelamin bisa iritasi karena terlalu sering dalam jeda waktu yang singkat. Karena terus menerus harus melayani, lama kelamaan si istri tidak sanggup. Kemudian ia menawari suaminya untuk menambah istri. Ini kasus khusus yang tidak bisa digeneralisir dan harus melalui pengkajian yang optimal.

Memang ada pelaku poligami yang mampu secara harta, mampu secara seks, mampu secara kepribadian, bisa memimpin dua atau tiga rumah tangga, fisik oke, tetapi jumlah yang seperti ini sedikit sekali. Dan perlu diingat, walau sang suami berkemampuan (harta, seks, kepemimpinan dll), perasaan istri juga harus diperhatikan.

Mayoritas pelaku poligami di Indonesia justru secara finansial babak belur. Ada yang rumahnya masih ngontrak tapi istri dua, tiga atau empat -dengan alasan mengikuti sunnah Rasul- dan melahirkan banyak anak, tetapi sikap mereka otoriter terhadap para istri dan anaknya.

Persoalannya, leadership yang arif dan bijak menjadi penting. Bukan indoktrinasi yang harus begini dan begitu tanpa pertimbangan, ini namanya otoriter. Ini jauh sekali dengan cita ideal poligami menurut Qur'an dan Hadits.

Jika dicermati mengenai ayat poligami dalam Al-Quran bukan merupakan sebuah anjuran tetapi lebih sebagai solusi dan penulis bukan orang yang anti poligami. Penulis hanya sekadar mengkritisi praktek poligami yang sembarangan, sembrono, membuat alasan yang dicari-cari dan menimbulkan masalah. Bagaimana pula penulis anti terhadap hal yang sudah di atur dalam Al-Quran. Mengingkari satu ayat sama artinya mengingkari seluruh ayat Al-Quran.



Dampak Perkawinan Bawah Tangan Bagi Perempuan


Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan. Beberapa info berikut, mungkin bermanfaat bagi anda.

  1. Apakah perkawinan bawah tangan itu?
    Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).
  2. Apakah Perkawinan Bawah Tangan dikenal dalam sistem hukum Indonesia?
    Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
  3. Akibat hukum perkawinan bawah tangan
    Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.
  4. Apakah dampak dari Perkawinan Bawah Tangan?
    a. Terhadap Istri

    Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial.
    Secara hukum:
    - Anda tidak dianggap sebagai istri sah;
    - Anda tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
    - Anda tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;
    Secara sosial:
    Anda akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.

    b. Terhadap anak
    Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
    Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
    Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
    Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.

    c. Terhadap laki-laki atau suami
    Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
    Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum.
    Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya.
    Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain
  5. Apa yang dapat dilakukan bila perkawinan bawah tangan sudah terjadi?
    A. Bagi yang Beragama Islam
    » Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah
    Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
    a. dalam rangka penyelesaian perceraian;
    b. hilangnya akta nikah;
    c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
    d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
    e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.
    Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.
    Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian.
    Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang.
    Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.
    » Melakukan perkawinan ulang
    Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

    B. Bagi yang beragama non-Islam
    » Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan
    Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
    » Pengakuan anak
    Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata.


http://www.qalbu.net/depan/oase/173-poligami-bukan-berasal-dari-islam.html http://www.qalbu.net/depan/oase/174-poligami-karena-alasan-menghindari-zina.html http://www.qalbu.net/depan/oase/136-dampak-perkawinan-bawah-tangan-bagi-perempuan.html